Archive for May 4th, 2011

Maimunah Binti Al-Harits

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

Dialah Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Saudari dari Ummul Fadhl istri Abbas. Beliau adalah bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari Ibnu Abbas.

Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya dan kemuliaannya. Pada mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummul Fadhl sehingga mendengar sebagian kajian-kajian Islam tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas yang mendalam dalam dirinya.

Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada didalam rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang ke rumah suaminya ternyata dia mendapatkannya dalam keadaan sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Maka hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.

Ketika telah tiba waktu yang telah di tetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan masuk Mekkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya. Pada hari itu kaum muslimin masuk Mekkah dengan rasa aman, mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana,”Labbaikallâhumma Labbaika Labbaika Lâ Syarîka Laka Labbaik…”. Mereka mendatangi Mekkah dalam keadaan tertunda setelah beberapa waktu bumi Mekkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Maka debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung karena mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Mekkah dengan terang-terangan, kekuatan dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan sudah dekat.

Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan akan tetapi beliau ingin agar dapat masuk Islam secara sempurna dengan penuh Izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Dan diantara harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap Nubuwwah sehingga dia dapat minum pada mata air agar memenuhi perilakunya yang haus akan aqidah yang istimewa tersebut, yang akhirnya merubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang. Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu fadhl dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikitpun Abbas tentang hal itu bahkan beliau bersegera menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham. Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka Ta’ala (artinya) :

“….Dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin….”( al-Ahzab: 50)

Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan: ”Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami”. Maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan ramah:

“Bagaimana menurut kalian jika kalian bairkan kami dan aku marayakan pernikahanku ditengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian???!”

Maka mereka manjawab dengan kasar: ”Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!”.

Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, yang mana kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul Shallallâhu ‘alaihi wa sallam sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak mengadakan walimatul ‘Urs dirinya dengan Maimunah di Mekkah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Mekkah. Tatkala sampai disuatu tempat yang disebut ”Sarfan” yang beranjak 10 mil dari Mekkah maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memulai malam pertamanya bersama Maimunah radhiallaahu ‘anha. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.

Mujahid berkata:”Dahulu namanya adalah Bazah namun Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Maimunah. Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulai, yakni menjadi Ummul Mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, mendengar dan ta’at, setia serta ikhlas. Setelah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menghadap ar-Rafiiqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun-tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam dan seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Hingga, karena kesetiaannya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat dimana dilaksanakan Walimatul ‘urs dengan Rasulullah.

‘Atha’ berkata:”Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata:”Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka kalian janganlah menggoncang-goncangkan atau menggoyang-goyangkan”. Beliau juga berkata:”Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu”.

Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah: ”Demi Allah! telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun, demi Allah! beliau adalah yang paling takwa diantara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim”.

Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang mana dengan langkahnya yang penuh keberanian tatkala masuk Islam secara terang-terangan membuahkan pengaruh yang besar dalam merubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyah menuju dienullah seperti Khalid dan Amru bin ‘Ash radhiallaahu ‘anhu dan semoga Allah meridhai para sahabat seluruhnya

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Maimunah Binti Al-Harits )

Miqdad Bin Amr

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “.Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”.

Dan Miqdad ibnul Aswa d yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin Amr ini. Di masa jahiliyah ia menyetuiui dan membuat perjanjian untukdiambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kan dungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu ‘Amr bin Sa’ad.

Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk islam, dan orang ketuiuh yang menyatakan keIslamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!

Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan. diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya.….

Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakmi seorang shahabat Rasulullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala Isi bumi ini ..

Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombangan dan keangkuhan mereka …. Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pemah mengalami peperangan untuk mempertahankan islam, disininilah peperangan pertama yang mereka terjuni….

Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneiiti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya…,para shahabat dibawanya bermusyawarat; dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fiiran dan pendapat mereka maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendirian dan pendapat yang sebenarya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat Lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.

Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhatihati terhadap perang; Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.

Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibimya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:

“Ya Rasulullah….
Teruslah laksanakan apa yang dititahtan Allah, dan kami akan bersama anda…!
Demi, Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini.
Tetapi kami akan.mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementaia kami ikut berjuang di samping anda…!
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran!
Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan,tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan disebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenang….!

Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busumya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit,mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan.. .’”

Sungguh, kalimat;kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad bin Muadz pemimpin kaum Anshar bangkit berdiri, katanya:

“Wahai Rasulullah.
Sungguh, kami telah beriman kepadanya dan membenarkan anda, dan kamu saksikan bahwa apa yang anda bahwa itu adalah benar ….,serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!

Maka majulah wahai Rasulullah laksana apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda….!
Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mangarungi lautan ini;,akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh..!

Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh dan moga-moga Allah akan memperlihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda …! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah.. .!”

Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya:
” Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian…..!”

Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ……
Anggota pasukan islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak tebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr , Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki; atau pengendara-pengendara unta.

******
Ucapan Miqdad yang kita; kemukakan tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi jaga melukiskan logikanya Yang tepat dan pemikirannya yang dalam……..

Demilkianlah sifat Miqdad…..
la adalah seorang-filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus, dan lurus sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber.bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.

Pada suatu hari i diangkat oleh Rasulullah sebagai amir disuatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya:
“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri diatas semua manusia sedang mereka semua dibawahku….Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.

Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu….?
Dan jika orang ini,bukan seorang filosof maka siapakah lagi yang disebut filosof….?
Seorang, laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya.

Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan meqhindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahura ia menepati janii dan sumpahnya itu hingga semenjak itu ia tak pernah man menerima jabatan amir

Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, yakni :
“Orang yang berbahagia , ialah orang yang dijauhkan dari fitnah….!”

Oleh karena jabatan sebagai amir(pemimpin) itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya.

Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasullah Shallallahu alaihi wasalam yang telah menyampaikan kepada ummatnya:
” bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak ”

Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi …. Perubaban atau hal baru apakah lagi setelah maut…?

Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat datam, katanya:
“Pada suatu hari kami pergi duduk-luduk ke dekat Miqdad.
Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan.!”

Miqdad pergi_menghampirinya katanya:
“Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?

Demi Allah, bukankah dimasa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam …!
Kenapa kalian tidak mengucapkan pujian kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu,dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian !”

Suatu hikmah · · ·! Dan hikmah yang bagaiman Lagi…?
Tidak seorangpun yang beriman kepada Allah,dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu.

Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya….?

Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidup kannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih…?

Demikianlah pandangan Miqdad., memancarkan hikmah dan filsafat….. Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan Ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung….

Kecintaan Miqdad kepada islam tidak terkira besarnya…..
Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar serta didampingi oleh hikmat maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya, dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawabnya…..

Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini ….
Kecintaannya kepada Rasululiah menyebabkan hati dan ingatannya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada, kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqhad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya.. :!

Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya bertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipudaya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawannya sendiri ….

Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak searang pun mengembalakan hewan tunggangannya.

Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.

Miqdpd lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya kehadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu. hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishas!”

Sang amir tunduk dan bersedia, hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af.
Penciuman Miqdad yang tajam mengenai pentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini hingga seakan-akan berdendang: “biar saya mati asalkan Islam tetap jaya…!”

Memang. itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawan- kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. menerima ucapan berikut:

” Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa ia mencintaimu”.
Ya Allah bangkitkanlah.dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu …amin….!

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Miqdad Bin Amr )

Muhammad Bin Sirin

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

“Aku tidak pernah melihat seseorang lebih faqih dalam wara’nya, dan lebih wara’ dalam fiqihnya” (Muriq Al-’Ijly)

Sirin telah ber’azam (bertekad kuat) untuk melengkapi separuh agamanya (menikah) setelah Anas bin Malik RA. memerdekakannya dan setelah pekerjaannya bisa menghasilkan banyak keuntungan dan harta yang berlimpah.

Sirin adalah seorang pandai besi yang mahir dan piawai dalam membuat panci.
Pilihannya telah jatuh pada seorang budak wanita Amirul Mukminin, Abu Bakar as-Shiddiq RA., yang bernama Shofiyyah untuk menjadi istrinya.

Shofiyyah adalah budak wanita yang masih muda belia, wajahnya bercahaya, akalnya cerdas, mulia tabiatnya, luhur akhlaknya dan dicintai oleh setiap wanita Madinah yang mengenalnya.

Tidak ada bedanya dalam hal itu antara remaja-remaja putri yang seusia dengannya dan antara ibu-ibu yang sudah berumur namun menganggapnya selevel dengan mereka dalam hal kecerdasan akal dan keluhuran akhlak.

Di antara wanita-wanita yang paling mengasihinya adalah istri-istri Rasul SAW terlebih lagi Sayyidah Aisyah RA.

Sirin datang menghadap Amirul mu’minin, lalu melamar budak wanitanya, shofiyyah.
Sementara Abu Bakar ash-Shiddiq RA segera mencari tahu tentang agama dan akhlak si pelamar layaknya seorang ayah yang amat mengasihi saat mencari tahu kondisi si pelamar anak perempuannya.

Dan itu tidaklah aneh, sebab Shofiyyah bagi dirinya sama posisinya dengan posisi seorang anak bagi ayahnya. Di samping itu, dia adalah amanat yang Allah titipkan di pundaknya.

Lalu Abu Bakar mulai meneliti dengan sangat cermat kondisi Sirin dan menelusuri secara detail riwayat hidupnya.

Karena itu, orang pertama yang beliau tanyai mengenai siapa dirinya adalah Anas bin Malik RA.

Maka Anaspun berkata kepadanya,
“Nikahkanlah Shofiyyah dengannya wahai Amirul Mukminin, dan engkau jangan khawatir dia akan bertindak kasar terhadapnya. Yang aku ketahui darinya hanyalah orang yang benar agamanya, mengesankan akhlaqnya dan sempurna maruah dan kelelakiannya.

Dia sudah terbina dengan pendidikanku sejak ditawan oleh Khalid bin Al-Walid pada perang “’Ain at-Tamr” [Sebuah kawasan yang terletak bagian selatan Kufah, berhasil ditaklukkan Khalid bin al-Walid pada masa kekhilafahan Abu Bakar] bersama empat puluh orang anak-anak lainnya, lalu dia membawa mereka ke Madinah. Kebetulan, Sirin adalah bagianku dan aku merasa beruntung mendapatkannya.”

Akhirnya Abu Bakar ash-Shiddiq RA setuju atas pernikahan Shofiyyah dengan Sirin dan bertekad untuk memperlakukannya secara baik sebagaimana perlakuan baik seorang ayah terhadap anak yang paling dikasihinya. Karena itu, dia mengadakan pesta perkawinan yang meriah, yang amat jarang ada wanita-wanita Madinah kala itu yang bernasib baik seperti ini.

Hadir sebagai undangan pesta pernikahan itu sejumlah besar para pembesar shahabat. Di antara mereka ada sebanyak 18 orang Ahli Badar. Juga turut mendoakannya, penulis wahyu Rasulullah, Ubay bin Ka’b dan diamini doanya oleh para undangan.

Bukan itu saja, bahkan tiga orang Ummahatul Mukminin turut menempelkan wewangian ke badannya dan meriasnya ketika akan dipersandingkan dengan calon suami.

Sebagai buah dari pernikahan yang diberkahi tersebut, lahirlah dari kedua orangtua tersebut seorang anak yang sepanjang 20 tahun menjadi salah satu dari bintang para Tabi’in dan tokoh tiada duanya dari kalangan kaum Muslimin pada masanya. Dia lah Muhammad bin Sirin.

Mari kita mulai kisah kehidupan seorang Tabi’i yang agung ini dari mula pertama.
Muhammad bin Sirin dilahirkan dua tahun menjelang berakhirnya kekhilafahan, Amirul Mukminin, ‘Utsman bin ‘Affan RA.

Dididik di sebuah rumah yang dipenuhi oleh sifat wara’ dan taqwa dari segala sudutnya.

Dan ketika sudah menginjak usia baligh, si anak yang baik pekerti dan cerdas ini mendapatkan masjid Rasulullah SAW., disesaki oleh sisa-sisa para shahabat yang mulia dan para senior kalangan Tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, ‘Imran al-Hushain, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin az-Zubair dan Abu Hurairah.

Maka dia pun menyongsong mereka layaknya orang yang haus menyongsong sumber air yang demikian bening. Menimba ilmu Kitabullah, Fiqhuddin (memahami agama) dan periwayatan hadits dari mereka, sehingga hal itu dapat mengisi akalnya dengan hikmah dan ilmu serta memerisai dirina dengan keshalihan dan kelurusan (berpetunjuk).

Kemudian keluarganya membawa pemuda yang langka ini pindah ke Bashrah, untuk kemudian menjadi tempat menetap mereka. Ketika itu, Bashrah masih merupakan kota yang baru dibuka. Kaum Muslimin berhasil membukanya pada akhir-akhir kekhilafahan ‘Umar, al-Faruq, RA.

Pada masa itu, Bashrah masih merupakan kota yang mewakili karakteristik umat Islam. Ia merupakan pangkalan militer tentara kaum Muslimin yang berperang di jalan Allah. Ia merupakan pusat pengajaran dan penyuluhan bagi orang-orang dari penduduk Iraq dan Persia yang masuk Islam. Ia adalah potret masyarakat Islam yang bekerja keras di dalam beramal untuk dunia seakan hidup selama-lamanya dan beramal untuk akhirat seakan-akan kematian menjelang esok hari.

Di dalam menempuh hidupnya yang baru di Bashrah, Muhammad bin Sirin mengambil dua cara yang berimbang dan transparan: pertama, memfokuskan pada separuh harinya untuk menimba ilmu dan beribadah. Kedua, memperuntukkan sebagiannya lagi untuk mencari rizki dan berbisnis.

Bila fajar telah menyingsing dan dunia telah memancarkan cahaya Rabb-nya, beliau berangkat ke masjid untuk mengajar dan belajar hingga bila matahari sudah naik, beliau beranjak dari masjid menuju pasar untuk berjual-beli.

Bilamana malam telah tiba dan sudah mengibar tabir untuk menyelimuti alam semesta, beliau berbaris di Mihrab rumahnya, merundukkan tulang punggung guna mengulang juz-juz al-Qur’an dan menangis karena takut kepada Allah dengan linangan air mata kedua mata dan hatinya. Sampai-sampai keluarga dan para tetangga dekatnya merasa kasihan terhadapnya lantaran seringnya mereka mendengar tangisanya yang seakan memutus urat nadi hati.

Sekalipun biasa berkeliling ke pasar pada siang hari untuk berjual-beli, namun beliau senantiasa mengingatkan manusia akan akhirat dan membuka mata mereka akan fitnah dunia. Beliau biasa bercerita kepada mereka dengan cerita menarik dan membimbing mereka kepada hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.

Terkadang dalam satu dan lain kesempatan, beliau bercerita kepada mereka dengan cerita yang enak didengar sehingga mampu menghapuskan keburaman jiwa mereka tanpa harus mengurangi kewibawaan dan keagungan citra beliau di sisi mereka.

Allah telah menganugerahi beliau sebagai sosok penuntun dan geliat Ahli kebajikan serta mengaruniai beliau sebagai orang yang dapat diterima dan punya pengaruh.

Manakala orang-orang yang tengah tenggelam dalam suasana dan lalai kebetulan melihat beliau di pasar, mereka jadi tersadar lantas mengingat Allah, bertahlil dan bertakbir.

Riwayat hidup yang beliau praktikkan merupakan tuntuan yang baik bagi manusia. Tiadalah dua hal yang dihadapinya di dalam perniagaannya kecuali beliau akan mengambil mana di antara keduanya yang lebih menambat dirinya dengan agamanya sekalipun mengakibatkan kerugian duniawi bagi dirinya.

Pemahamannya yang detail terhadap rahasia-rahasia agama dan kebenaran pandangannya terhadap hal mana yang halal dan haram terkadang mendorongnya untuk mengambil sebagian sikap yang tampaknya aneh bagi manusia.

Salah satunya adalah kisah seorang laki-laki yang menuduhnya punya hutang kepadanya sebanyak dua dirham secara dusta, namun beliau menolak untuk memberikannya.

Lalu laki-laki itu berkata kepadanya, “Anda bersedia untuk bersumpah.?” Sementara orang itu mengira bahwa beliau tidak akan bersumpah karena hanya uang dua dirham saja.
“Ya, aku bersedia.” Jawabnya sembari bersumpah setelah itu.

Maka orang-orang pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Bakar! Apakah kamu akan bersumpah juga untuk uang yang hanya dua dirham itu.?”
“Ya, aku akan bersumpah. Sebab, aku tidak ingin memakan hal yang haram sementara aku tahu bahwa ia haram.” Katanya.

Majlis yang diisi oleh Ibn Sirin adalah majlis kebajikan dan penuh dengan wejangan. Bila disinggung nama seseorang yang berbuat kejahatan di sisinya, beliau langsung mengingatkan orang itu dengan penyelesaian yang dia tahu itu adalah terbaik baginya.

Bahkan, suatu ketika beliau mendengar ada salah seorang yang mencaci maki al-Hajjaj (bin Yusuf ats-Tsaqafy, salah seorang penguasa Bani Umayyah yang amat tirani. Para sejarawan banyak memuat kisah kebengisan, kekejaman dan kebiadabannya) sepeninggalnya, maka dia menyongsong orang tersebut sembari berkata kepadanya,
“Diam, wahai saudaraku!!!. Sebab al-Hajjaj sudah berpulang ke Rabb-nya. Sesungguhnya dosa paling hina yang engkau lakukan akan engkau dapatkan ketika menghadap Tuhanmu lebih berat bagimu ketimbang dosa paling besar yang dilakukan al-Hajjaj. Masing-masing kalian akan sibuk dengan dirinya sendiri. Ketahuilah, wahai anak saudaraku, bahwa Allah pasti akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan al-Hajjaj untuk orang-orang yang pernah dizhaliminya. Demikian pula, Dia akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan oleh mereka untuknya. Jadi, janganlah sekali-kali engkau menyibukkan dirimu dengan mencaci-maki siapapun.”

Bila ada orang yang berpamitan kepadanya untuk suatu perjalanan bisnis, beliau selalu berpesan kepadanya,
“Bertakwalah kepada Allah, wahai anak saudaraku! Carilah rizki ditakdirkan kepadamu dengan cara yang halal. Ketahuilah bahwa jika engkau mencarinya tanpa cara yang halal, niscaya kamu tidak akan mendapatkannya lebih banyak dari apa yang telah ditakdirkan kepadamu.”

Muhammad bin Sirin memiliki catatan sejarah yang dapat dibuktikan dan amat masyhur di dalam menghadapi penguasa Bani Umayyah dimana beliau berani mengucapkan kebenaran dan dengan ikhlash memberikan nasehat bagi Allah, Rasul-Nya serta para pemimpin kaum Muslimin.

Di antara contohnya, kisah ‘Umar bin Hubairah al-Fazary, salah seorang tokoh besar Bani Umayyah dan penguasa kawasan Iraq yang mengirimkan surat untuk mengundangya berkunjung kepadanya. Maka, beliaupun datang menjumpainya bersama anak saudaranya.

Tatkala beliau datang, sang penguasa ini menyambungnya dengan hangat, memberikan penghormatan untuk kedatangannya, meninggikan tempat duduknya serta menanyakannya seputar beberapa masalah agama dan dien, kemudian berkata kepadanya,
“Bagaimana kondisi penduduk negerimu saat engkau meninggalkannya, wahai Abu Bakar?.”

“Aku tinggalkan mereka dalam kondisi kezhaliman meraja lela terhadap mereka dan kamu lalai terhadap mereka.” Katanya. Karena ucapan ini, anak saudaranya memberikan isyarat dengan pundaknya. Lalu beliau menoleh ke arahnya sembari berkata, “Engkau bukanlah orang yang kelak akan dipertanyakan tentang mereka tetapi akulah orang yang akan dipertanyakan itu. Ini adalah persaksian, siapa yang menyembunyikannya, maka hatinya berdosa.” (dengan mengutip untaian ayat 283 surat al-Baqarah)

Ketika pertemuan itu bubar, ‘Umar bin Hubairah mengucapkan selamat berpisah kepadanya dengan perlakuan yang sama saat menyambutnya, yaitu dengan penuh kehangatan dan penghormatan.

Bahkan dia memberikannya sebuah kantong berisi uang 3000 dinar, namun Ibn Sirin tidak mengambilnya.

Karena penolakan itu, anak saudaranya berkata kepadanya,
“Apa sih yang menyebabkanmu tidak mau menerima pemberian Amir?.”

“Dia memberiku karena baik sangkanya terhadapku. Jika aku benar termasuk orang-orang yang baik sebagaimana sangkaannya, maka tidaklah pantas bagiku untuk menerimanya. Bila aku tidak seperti yang disangkanya itu, maka adalah lebih pantas lagi bagiku untuk tidak membolehkan menerima itu.”

Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin. Karena itu, Dia mengujinya dengan ujian yang biasa dihadapi oleh orang-orang beriman.

Di antaranya, bahwa suatu hari beliau membeli minyak secara kredit dengan harga 40.000 dinar. Tatkala dia membuka salah satu tutupan wadah minyak yang terbuat dari kulit itu, dia mendapatkan seekor tikur yang mati dan sudah membusuk. Beliau berkata di dalam hatinya, “Sesungguhnya semua minyak ini berasal dari satu tempat penyaringan. Najis yang ada bukan hanya ada di dalam satu wadah ini saja. Jika, aku kembalikan kepada si penjual karena alasan ada aibnya, barangkali saja dia akan menjualnya lagi kepada orang lain.” Kemudian beliau menumpahkan semuanya.

Hal itu terjadi di saat beliau mengalami kerugian besar sehingga dililit hutang. Ketika pemilik minyak itu menagih uangnya, beliau tidak dapat mengembalikannya.

Maka, masalah itupun diadukan kepada penguasa di sana yang lalu memerintahkan agar mengurung beliau hingga mampu membayar hutang tersebut.

Ketika berada di penjara dan mendekam di situ beberapa lama, sipir penjaga penjara merasa kasihan terhadapnya karena mengetahui betapa kemapanan ilmu agamanya, kewara’annya yang amat berlebihan serta ibadahnya yang demikian panjang. Maka berkatalah sipir itu kepadanya,
“Wahai tuan guru, bilamana sudah malam, silahkan engkau kembali ke keluargamu dan bermalamlah bersama mereka. Bila sudah pagi, maka kembalilah ke sini. Teruslah demikian hingga engkau dibebaskan.”

Beliau menjawab,
“Demi Allah, hal ini tidak akan pernah aku lakukan.”
“Kenapa? Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” Tanya sipir

“Yah, hingga aku tidak terlibat dalam bertolong-tolong atas pengkhiatan terhadap penguasa negeri ini.”

Ketika Anas bin Malik RA., dekat ajalnya, dia berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara.

Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat shahabat Rasulullah SAW., dan Khadim-nya tersebut, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Muhammad bin Sirin ikuat bersama mereka untuk merealisasikan wasiat itu, maka sang penguasa pun mengizinkannya.

Lantas berkatalah Muhammad bin Sirin kepada mereka,
“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya.” Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga.

Ketika itulah, beliau keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak sempat menjenguk keluarganya sendiri.

Muhammad bin Sirin mencapai usia 77 tahun. Tatkala kematian menjemputnya, dia mendapatkan dirinya sudah enteng karena tidak memikul beban duniawi lagi namun memiliki bekal yang banyak untuk kehidupan setelah kematian.

Hafshoh bintu Rasyid yang merupakan salah seorang wanita ahli ‘ibadah bercerita,
“Adalah Marwan al-Mahmaly tetangga kami. Dia seorang ahli ibadah dan pegiat dalam berbuat ta’at. Ketika dia wafat, kami sedih luar biasa. Di dalam tidur aku bermimpi melihatnya, lalu aku bertanya kepadanya,
‘Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang diperbuat Rabbmu terhadapmu.?’

‘Dia telah memasukkanku ke dalam surga.’jawabnya
‘Lalu apa lagi?.’ Tanyaku
‘Lalu aku dinaikkan untuk bertemu Ash-habul Yamin (Golongan kanan, ahli surga).’jawabnya lagi

‘Kemudian apa lagi.?’ Tanyaku lagi
‘Kemudian aku dinaikkan lagi untuk bertemu al-Muqarrabun (Generasi awal).’ Jawabnya lagi

‘Siapa saja yang engkau lihat ada di sana.?’ Tanyaku lagi
‘Ada al-Hasan al-Bashary dan Muhammad bin Sirin…’ Jawabnya.

CATATAN:
Sebagai bahan tambahan mengenai biografi Muhammad bin Sirin, silahkan merujuk:
1. ath-Thabaqât al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Jld.III:385; IV:333; VI:27; VII:11,19,154 dan VIII: 246 dan halaman-halaman lainnya.
2. Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzy, Jld.III:241-248.
3. Hilyah al-Auliyâ` karya al-Ashfahâny, Jld.II:263-282.
4. Târîkh Baghdad karya al-Khathîb al-Baghdâdy, Jld.V:331.
5. Syadzarât adz-Dzahab, Jld.I:138-139.
6. Wafayât al-A’yân karya Ibnu Khalakân, Jld.III:321-322.
7. al-Wafayât karya Ahmad bin Hasan bin Ali bin al-Khathîb, h.109.
8. Al-Wâfy Bi al-wafayat karya ash-Shafady, Jld.III:146.
9. Thabaqât al-Huffâzh, Jld.III:9.

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Muhammad Bin Sirin )

Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

“Yang aku tahu, hanya Muhammad bin al-Hanafiyyah yang banyak menimba ilmu dari ‘Ali.” (Ibn al-Junaid)

Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, beliau lebih dikenal dengan Muhammad Ibn al-Hanafiah, sedang terjadi percekcokan dengan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah SAW, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”

Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.

Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi SAW, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.”
“Ya” jawab beliau.

Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia SAW bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).

Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah SAW. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.

Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.

Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.

Ayahnya RA telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.

Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.

Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”

Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”

Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.

Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.

Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…

Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…

Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”

Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali RA mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )

Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.

Muawiyah RA merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.

Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.

Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.

Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”

Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”

‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”

“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.

“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.

Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”

Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.

Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.

Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…”
Orang Romawi tadi memilih duduk.

Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…

Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.

Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi…

Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.

Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.

Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…

Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya.

Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.

Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”

Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…

Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.

Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”

Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.

Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.

Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.

Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.

Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…

Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.

Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”

Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”

Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya.

Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.

Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…

Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.

Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.

Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.

Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.

Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”

Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”

Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”

Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…

Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”

Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad SAW…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah SAW mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”

Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”

Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”

Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.

Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”

Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”

Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.

Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia.

CATATAN KAKI:

* Ad-Dailami adalah masyarakat besar yang berada di utara Qazwain, muslimin memerangi mereka kemudian mereka memeluk Islam

** Al-‘Ilj adalah orang yang kuat dan besar dari orang-orang kafir non Arab
*** Ia adalah putra Asma binti ash-Shiddiq yamg berhasil menaklukkan kawasan Afrika

SUMBER BACAAN:

Sebagai tambahan tentang kisah Muhammad Ibn al-Hanafiyyah, lihat:
– Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174
– Tahdziib at-Tahdziib, IX:354
– Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79
– Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91
– Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583
– Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169
– Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H
– Syadzarat adz-Dzahab, I:89
– Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89
– Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76
– Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123
– Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib )

Umar bin Abdul Aziz r.a.

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja, terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam rumah dekat dia beristirahat.

“Nak, campurkanlah susu yang engkau perah tadi dengan air,” kata sang ibu.
“Jangan ibu. Amirul mukminin sudah membuat peraturan untuk tidak menjual susu yang dicampur air,” jawab sang anak.
“Tapi banyak orang melakukannya Nak, campurlah sedikit saja. Tho insyaallah Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” kata sang ibu mencoba meyakinkan anaknya.
“Ibu, Amirul Mukminin mungkin tidak mengetahuinya. Tapi, Rab dari Amirul Mukminin pasti melihatnya,” tegas si anak menolak.

Mendengar percakapan ini, berurailah air mata pria ini. Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”

Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahandanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata, “Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”

Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.

Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.

Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”

Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.

Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.

Kelahiran Umar bin Abdul Aziz
Saat itu, Ummi Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Abdul Aziz adalah Gubernur Mesir di era khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M) yang merupakan kakaknya. Abdul Mallik bin Marwan adalah seorang shaleh, ahli fiqh dan tafsir, serta raja yang baik terlepas dari permasalahan ummat yang diwarisi oleh ayahnya (Marwan bin Hakam) saat itu.

Dari perkawinan itu, lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dilahirkan di Halawan, kampung yang terletak di Mesir, pada tahun 61 Hijrah. Umar kecil hidup dalam lingkungan istana dan mewah. Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan. Tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar,

Bergembiralah engkau wahai Ummi Ashim. Mimpi Umar bin Khattab insyaallah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.

Umar bin Abdul Aziz menuntut ilmu sejak beliau masih kecil. Beliau sentiasa berada di dalam majlis ilmu bersama-sama dengan orang-orang yang pakar di dalam bidang fikih dan juga ulama-ulama. Beliau telah menghafaz al-Quran sejak masih kecil. Merantau ke Madinah untuk menimba ilmu pengetahuan. Beliau telah berguru dengan beberapa tokoh terkemuka spt Imam Malik b. Anas, Urwah b. Zubair, Abdullah b. Jaafar, Yusuf b. Abdullah dan sebagainya. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran dengan beberapa tokoh terkenal di Mesir.

Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah, beliau memegang jawatan gabernur Madinah/Hijaz dan berjaya mentadbir wilayah itu dengan baik. Ketika itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik memerintah, beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah. Pada masa itu usianya 33 tahun.

Umar bin Abdul Aziz mempersunting Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan sebagai istrinya. Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan adalah putri dari khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian juga, keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam. Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah.

Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah
Atas wasiat yang dikeluarkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada usianya 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil orang ramai untuk mendirikan sembahyang. Selepas itu orang ramai mula berpusu-pusu pergi ke masjid. Apabila mereka semua telah berkumpul, beliau bangun menyampaikan ucapan. Lantas beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi s.a.w kemudian beliau berkata:

“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini tanpa meminta pandangan daripada aku terlebih dahulu dan bukan juga permintaan daripada aku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiah yang kamu berikan kepada aku dan pilihlah seorang Khalifah yang kamu reda”.

Tiba-tiba orang ramai serentak berkata:

“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga reda kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan keberkatan”.

Lalu beliau berpesan kepada orang ramai supaya bertakwa, zuhud kepada kekayaan dunia dan mendorong mereka supaya cintakan akhirat kemudian beliau berkata pula kepada mereka: “Wahai sekalian umat manusia! Sesiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah, janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.

Umar rahimahullah pernah menghimpunkan sekumpulan ahli fekah dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku menghimpunkan kamu semua untuk bertanya pendapat tentang perkara yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab: “Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat daripada kumpulan yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semula barangan yang diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.

Sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta.

Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”

Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Setelah menjadi khalifah, beliau mengubah beberapa perkara yang lebih mirip kepada sistem feodal. Di antara perubahan awal yang dilakukannya ialah :
1) menghapuskan cacian terhadap Sayidina Ali b Abu Thalib dan keluarganya yang disebut dalam khutbah-khutbah   Jumaat dan digantikan dengan beberapa potongan ayat suci al-Quran
2) merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga Khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal
3) memecat pegawai-pegawai yang tidak cekap, menyalahgunakan kuasa dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga Khalifah
4) menghapuskan pegawai pribadi bagi Khalifah sebagaimana yang diamalkan oleh Khalifah terdahulu. Ini membolehkan beliau bebas bergaul dengan rakyat jelata tanpa sekatan tidak seperti khalifah dahulu yang mempunyai pengawal peribadi dan askar-askar yang mengawal istana yang menyebabkan rakyat sukar berjumpa.

Selain daripada itu, beliau amat menitik beratkan tentang kebajikan rakyat miskin di mana beliau juga telah menaikkan gaji buruh sehingga ada yang menyamai gaji pegawai kerajaan.

Beliau juga amat menitikberatkan penghayatan agama di kalangan rakyatnya yang telah lalai dengan kemewahan dunia. Khalifah umar telah memerintahkan umatnya mendirikan solat secara berjammah dan masjid-masjid dijadikan tempat untuk mempelajari hukum Allah sebegaimana yang berlaku di zaman Rasulullah SAW dan para Khulafa’ Ar-Rasyidin. Baginda turut mengarahkan Muhammad b Abu Bakar Al-Hazni di Mekah agar mengumpul dan menyusun hadith-hadith Raulullah SAW. Beliau juga meriwayatkan hadis dari sejumlah tabiin lain dan banyak pula ulama hadis yang meriwayatkan hadis daripada beliau.

Dalam bidang ilmu pula, beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya menterjemahkan buku-buku kedoktoran dan pelbagai bidang ilmu dari bahasa Greek, Latin dan Suryani ke dalam bahasa Arab supaya senang dipelajari oleh umat Islam.

Dalam mengukuhkan lagi dakwah Islamiyah, beliau telah menghantar 10 orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara serta menghantar beberapa orang pendakwah kepada raja-raja India, Turki dan Barbar di Afrika Utara untuk mengajak mereka kepada Islam. Di samping itu juga beliau telah menghapuskan bayaran Jizyah yang dikenakan ke atas orang yang bukan Islam dengan harapan ramai yang akan memeluk Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan keadilannya telah menjadikan keadilan sebagai keutamaan pemerintahannya. Beliau ingin semua rakyat dilayani dengan adil tidak memandang keturunan dan pangkat supaya keadilan dapat berjalan dengan sempurna. Keadilan yang beliau perjuangan adalah menyamai keadilan di zaman kakeknya, Khalifah Umar Al-Khatab.

Pada masa pemerintahan beliau, kerajaan Umaiyyah semakin kuat tiada pemberontakan dalaman, kurang berlaku penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang sewajarnya dan menjadi kaya-raya hinggakan Baitulmal penuh dengan harta zakat kerana tiada lagi orang yang mahu menerima zakat. Rakyat umumnya sudah kaya ataupun sekurang-kurangnya mau berdikari sendiri. Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekausaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.

Kematian beliau

Beliau wafat pada tahun 101 Hijrah ketika berusia 39 tahun. Beliau memerintah hanya selama 2 tahun 5 bulan saja. Setelah beliau wafat, kekhalifahan digantikan oleh iparnya, Yazid bin Abdul Malik.

Muhammad bin Ali bin Al-Husin rahimahullah berkata tentang beliau: “Kamu telah sedia maklum bahwa setiap kaum mempunyai seorang tokoh yang menonjol dan tokoh yang menonjol dari kalangan Bani Umaiyyah ialah Umar bin Abdul Aziz, beliau akan dibangkitkan di hari kiamat kelak seolah-olah beliau satu umat yang berasingan.”

Terdapat banyak riwayat dan athar para sahabat yang menceritakan tentang keluruhan budinya. Di antaranya ialah :
1) At-Tirmizi meriwayatkan bahwa Umar Al-Khatab telah berkata : “Dari anakku (zuriatku) akan lahir seorang lelaki yang menyerupainya dari segi keberaniannya dan akan memenuhkan dunia dengan keadilan”
2) Dari Zaid bin Aslam bahawa Anas bin Malik telah berkata : “Aku tidak pernah menjadi makmum di belakang imam selepas wafatnya Rasulullah SAW yang mana solat imam tersebut menyamai solat Rasulullah SAW melainkan daripada Umar bin Abdul Aziz dan beliau pada masa itu adalah Gabenor Madinah”
3) Al-Walid bin Muslim menceritakan bahawa seorang lelaki dari Khurasan telah berkata : “Aku telah beberapa kali mendengar suara datang dalam mimpiku yang berbunyi : “Jika seorang yang berani dari Bani Marwan dilantik menjadi Khalifah, maka berilah baiah kepadanya kerana dia adalah pemimpin yang adil”.” Lalu aku menanti-nanti sehinggalah Umar b. Abdul Aziz menjadi Khalifah, akupun mendapatkannya dan memberi baiah kepadanya”.
4) Qais bin Jabir berkata : “Perbandingan Umar b Abdul Aziz di sisi Bani Ummaiyyah seperti orang yang beriman di kalangan keluarga Firaun”
5) Hassan al-Qishab telah berkata :”Aku melihat serigala diternak bersama dengan sekumpulan kambing di zaman Khalifah Umar Ibnu Aziz”
6) Umar b Asid telah berkata :”Demi Allah, Umar Ibnu Aziz tidak meninggal dunia sehingga datang seorang lelaki dengan harta yang bertimbun dan lelaki tersebut berkata kepada orang ramai :”Ambillah hartaku ini sebanyak mana yang kamu mahu”. Tetapi tiada yang mahu menerimanya (kerana semua sudah kaya) dan sesungguhnya Umar telah menjadikan rakyatnya kaya-raya”
7) ‘Atha’ telah berkata : “Umar Abdul Aziz mengumpulkan para fuqaha’ setiap malam. Mereka saling ingat memperingati di antara satu sama lain tentang mati dan hari qiamat, kemudian mereka sama-sama menangis kerana takut kepada azab Allah seolah-olah ada jenayah di antara mereka.”

Wallahu a’lam…

sumber:
http://www.kisah.web.id

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Umar bin Abdul Aziz r.a. )

Mush’ab Bin Umair

Posted on 04/05/2011. Filed under: Kisah Islami, Tokoh |

Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadi-nya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.

Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum.”

Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Nlush’ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang balk”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi corak pribadi manakah?
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin … Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da’i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.

Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar Sauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.

Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah saw. sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajamya ayat-ayat al-Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam.

Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas — berlipat ganda dari ukuran usianya — dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah …!
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush’ab, seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat. la wanita yang disegani bahkan ditakuti.

Ketika Mush’ab menganut Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan walau seluruh penduduk Mekah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush’ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya bagi Mush’ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah. Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majlis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.

Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.

Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai — demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan — menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.

Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya amat rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat bebeuapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lain pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lain pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.

Balk di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat.
Ia telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam la merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengurbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar …

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah saw. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai juSah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka — pakaiannya sebelum masuk Lslam — tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau yang wangi.

Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bihirnya tersungging senyuman mulia, seraya bersabda:
Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi daiam memperoleh k esenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalhannya semua itu demi cintanya hepada Allah dan Rasul-Nya.

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”.

Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: !’Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu.
Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.

Demikian Mush’ab meninggalkari kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.

Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani …

Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama-Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peuistiwa besar.

Sebenamya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih beupengarub dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.

Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da’i dan da’wah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur.
Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka beuduyun-duyun masuk Islam.

Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit ‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-nya.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan.

la sadar bahwa tugasnya adalah menyerLi kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka ….

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat; Kitab Suci dari Allah, menyampaian kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu di antaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan.

Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal.
Tetapi Tuhannya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam — yang diserukan beribadah kepada-Nya — oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorang pun yang dapat melihat-rjya.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk beusama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut.
Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam…, laksana terang dan damainya cahaya fajar …,terpancarlah ketulusan hati “Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenamya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta petimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyauakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat al-Quran dan menguraikan da’wah yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah saw., maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada shahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu .. ·! Dan apakah yang barns dilaknkan oleb orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”.

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil meme·ras air dari rambutnya, lain ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah ….

Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keidaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.
Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin ‘Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya-bertanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celab giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya· Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijral ke Madinah.

Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadp hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah “Mush’ab yang baik”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.

Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.

Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin daui puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Nlelihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan st?rangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.

Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lain maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk bauisan tentara …

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab beutempur laksana pasukan tentara besar …. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam …. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah .

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair.
Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceriterakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-’Abdari dari bapaknya, ia berkata:

Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu &umaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan:
Muhammad itu tiada lain hanyaIah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul’: Maka dipegangnya bendera dengan tangan hirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya he dada sambil mengucaphan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasulj dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul’: Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh ”

Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera …. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada …. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengurbanan dan keimanan. Di saat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”

Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat al-Quran yang selalu dibaca orang ….
Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia ….Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu.

Atau mungkin juga ia merasa main karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.

Wahai Mush’ab cukuplah bagimu ar-Rahman ….
Namamu harum semerbak dalam kehidupan ….
Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul’Urrat:

“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara hami ada yang telah berlalu sebelum menikmati’ pahalanya di dunia ini sedihit pun juga. Di antaranya ialah Mush’ab bin Umair yang tewa s di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan dahinya tutupilah delagan rumput idzkhir!”

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi …. Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya …. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya …. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:
Di antara orang-orang Mu inin terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.(Q.S. 33 al-Ahzab: 23)

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda:
Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetapi seharang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.

Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru:
Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.

Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya:
Hai manusia! Berziarahlah dan berltunjunglah kepada mereka, serta ucaphanlah salam Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereha akan mem balasnya.

Salam atasmu wahai Mush’ab ….
Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada ….
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Read Full Post | Make a Comment ( Comments Off on Mush’ab Bin Umair )

  • Free Palestine !!



    FREE PALESTINE | CONDEMN ISRAELI OCCUPATION

  • Informasi Tentang Anda

    IP
  • Total Pengunjung

    free counters
  • WebRank

    Alexa Certified Traffic Ranking for kissanak.wordpress.com
  • Blog Stats

    • 1,117,833 hits
  • Visit http://www.ipligence.com

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...